Harapan Besar, Realisasi Masih Terbatas
Pemerintah Indonesia terus mendorong penggunaan kendaraan listrik, termasuk di sektor komersial. Tujuannya jelas: menurunkan emisi karbon, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan memperkuat transisi energi bersih. Namun, di balik semangat tersebut, adopsi kendaraan komersial listrik—seperti truk, bus, dan van logistik—masih menghadapi berbagai kendala yang tidak bisa diabaikan.
Meskipun regulasi dan insentif sudah mulai digulirkan, implementasinya di lapangan tidak semudah membalik telapak tangan.
Biaya Awal yang Tinggi Jadi Penghambat Utama
Salah satu tantangan terbesar adalah biaya investasi awal yang masih tergolong tinggi. Kendaraan komersial listrik, terutama yang berukuran besar, dibanderol dengan harga dua hingga tiga kali lipat dari kendaraan berbahan bakar konvensional.
Meski biaya operasional dan perawatan kendaraan listrik cenderung lebih murah dalam jangka panjang, banyak pelaku usaha logistik atau transportasi masih mengandalkan hitungan jangka pendek. Mereka menilai pengeluaran awal yang besar sebagai beban, apalagi di tengah tekanan ekonomi global dan daya beli masyarakat yang fluktuatif.
Infrastruktur Pengisian Daya Masih Minim
Selanjutnya, minimnya infrastruktur pengisian daya (charging station) menjadi tantangan besar lainnya. Berbeda dengan kendaraan pribadi yang bisa diisi di rumah, kendaraan komersial memerlukan fasilitas pengisian cepat dan kapasitas besar, terutama untuk rute jarak jauh atau perjalanan antarkota.
Faktanya, hingga kini, peta distribusi SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Banyak wilayah industri dan jalur logistik utama masih belum dilengkapi dengan fasilitas pendukung tersebut, sehingga membuat operator enggan beralih ke kendaraan listrik.
Kurangnya Varian dan Teknologi Penyesuaian
Tak hanya soal harga dan infrastruktur, ketersediaan varian kendaraan komersial listrik yang sesuai kebutuhan juga masih terbatas. Banyak pelaku industri mengeluhkan bahwa kendaraan yang ada saat ini belum mampu menyesuaikan dengan medan, kapasitas, dan durasi operasional di Indonesia.
Selain itu, suhu panas tropis, kualitas jalan, serta beban kerja berat menuntut teknologi yang lebih adaptif. Tanpa inovasi yang mengakomodasi kebutuhan lokal, adopsi kendaraan listrik komersial akan berjalan lambat.
Edukasi dan Insentif Perlu Diperluas
Pemerintah memang telah mengeluarkan sejumlah insentif fiskal dan non-fiskal, mulai dari pembebasan bea masuk hingga potongan pajak. Namun, banyak pelaku industri belum sepenuhnya memahami detail kebijakan tersebut. Minimnya edukasi menjadi penghambat tersendiri.
Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan yang lebih masif dalam bentuk sosialisasi, pelatihan, dan pendampingan teknis bagi perusahaan dan operator logistik agar mereka lebih siap bertransformasi ke kendaraan listrik.
Penutup: Perlu Sinergi untuk Melaju Lebih Jauh
Kendaraan komersial listrik adalah masa depan transportasi yang lebih ramah lingkungan. Namun, tanpa mengatasi kendala-kendala utama seperti biaya tinggi, minimnya infrastruktur, dan kurangnya edukasi, upaya ini akan tertahan di titik awal.
Maka dari itu, sinergi antara pemerintah, produsen otomotif, dan pelaku industri logistik menjadi kunci agar transisi ini berjalan lancar. Indonesia punya potensi besar—yang dibutuhkan kini adalah strategi nyata dan langkah kolektif untuk mewujudkannya.