Gelombang penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) terus bergulir di berbagai daerah. Salah satunya datang dari kelompok masyarakat sipil di Bandung yang menyuarakan kritik melalui aksi damai. Namun, yang mengejutkan, simpul massa aksi di Bandung justru mengalami serangan siber yang diduga dilakukan untuk membungkam gerakan mereka.

Kejadian ini menimbulkan kekhawatiran baru: apakah ruang demokrasi digital kini mulai mendapat tekanan yang sama dengan ruang publik fisik?


Kronologi Serangan Siber: Situs dan Akun Diretas

Menurut pernyataan dari koordinator lapangan aksi, serangan dimulai sejak sehari sebelum aksi turun ke jalan. Beberapa akun media sosial resmi simpul aksi mengalami peretasan, sementara situs web mereka tidak bisa diakses karena diduga diserang oleh DDoS (Distributed Denial of Service).

Selain itu, beberapa panitia aksi juga melaporkan percobaan login mencurigakan dan spam yang menyerang nomor pribadi dan email mereka. Serangan ini terstruktur dan diduga kuat dilakukan oleh pihak yang tidak menginginkan aksi penolakan terhadap RUU TNI mendapat perhatian publik lebih luas.


Motif dan Dampak: Upaya Membungkam Suara Kritikal

Pengamat keamanan siber menilai bahwa serangan terhadap simpul aksi di Bandung bukan insiden biasa. Dalam konteks demokrasi, aksi protes terhadap kebijakan publik merupakan bagian dari hak warga negara, dan segala bentuk gangguan terhadap kebebasan tersebut harus dikritisi.

Serangan siber terhadap kelompok sipil yang menyuarakan kritik dapat dipandang sebagai bentuk represi digital. Jika dibiarkan, tindakan seperti ini bisa menjadi preseden buruk bagi kebebasan berpendapat di Indonesia.

Lebih dari itu, serangan ini berdampak pada minimnya informasi yang bisa diakses publik, karena jalur komunikasi utama aksi—seperti media sosial dan situs informasi—menjadi lumpuh.


Respons dari Massa Aksi dan Seruan Terbuka

Meski mendapat tekanan digital, massa aksi di Bandung tetap melanjutkan rencana unjuk rasa damai mereka. Mereka juga mengeluarkan pernyataan sikap yang menegaskan bahwa intimidasi digital tidak akan menghentikan suara rakyat.

Selain itu, mereka meminta perhatian dari lembaga pengawas, seperti Komnas HAM dan Kominfo, untuk segera mengusut serangan siber ini. Menurut mereka, perlindungan terhadap kelompok masyarakat sipil sangat penting agar demokrasi tetap terjaga.


Kesimpulan: Demokrasi Tak Boleh Kalah oleh Serangan Siber

Peristiwa yang menimpa simpul aksi penolakan RUU TNI di Bandung menjadi cermin bahwa ancaman terhadap demokrasi kini tak hanya hadir secara fisik, tetapi juga digital. Serangan siber harus dianggap serius karena dapat membungkam kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi.

Similar Posts