Di tengah gencarnya program kesehatan nasional, kisah memilukan kembali terjadi. Seorang balita dari keluarga miskin harus meregang nyawa karena tidak memiliki BPJS Kesehatan. Ia mengalami kejang hebat, namun tak segera mendapat pertolongan medis akibat terkendala biaya. Tragedi ini menyayat hati dan membuka mata kita terhadap masih lemahnya akses kesehatan untuk warga miskin.
Kejadian Tragis yang Menggugah Nurani
Kisah ini datang dari sebuah keluarga prasejahtera di pelosok daerah. Sang balita, sebut saja Rara (2 tahun), mengalami demam tinggi selama dua hari. Sayangnya, ketika kejang hebat datang, orang tuanya tak langsung membawanya ke rumah sakit. Mereka ragu, karena tak memiliki BPJS dan tidak sanggup membayar biaya berobat.
Setelah akhirnya membawa Rara ke puskesmas, kondisi anak malang itu sudah kritis. Petugas medis berusaha menyelamatkan nyawanya, namun semuanya terlambat. Rara mengembuskan napas terakhir dalam perjalanan menuju rumah sakit rujukan. Keterlambatan penanganan karena kendala administratif menjadi penyebab utama kehilangan nyawa si kecil.
Ketimpangan Akses Kesehatan yang Masih Nyata
Tragedi ini bukanlah kasus pertama. Di banyak wilayah terpencil atau miskin, akses terhadap fasilitas kesehatan masih sangat terbatas. Padahal, negara telah mengupayakan perlindungan kesehatan melalui program JKN-KIS dan BPJS Kesehatan.
Namun, banyak warga miskin tidak tahu cara mendaftar, atau terkadang tidak memiliki dokumen identitas lengkap untuk mengurus keanggotaan. Akibatnya, mereka enggan mencari bantuan medis saat darurat terjadi—karena takut akan tagihan biaya yang tak sanggup dibayar.
Peran Pemerintah dan Masyarakat Diuji
Pemerintah sebenarnya sudah berusaha menanggung iuran BPJS untuk warga tidak mampu melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI). Namun, sosialisasi dan pendataan yang tidak merata menyebabkan masih banyak keluarga yang luput dari bantuan ini.
Di sisi lain, aparat desa, RT/RW, dan kader kesehatan perlu lebih proaktif mendampingi warga rentan untuk mendapatkan jaminan kesehatan. Tanpa dukungan nyata dari akar rumput, program kesehatan nasional sulit menjangkau mereka yang paling membutuhkan.
Kesehatan adalah Hak, Bukan Privilege
Tragedi yang menimpa Rara seharusnya tidak perlu terjadi. Setiap anak berhak mendapatkan akses kesehatan tanpa harus memikirkan biaya. Negara wajib hadir, dan masyarakat wajib peduli. Jangan biarkan status ekonomi menjadi penghalang bagi nyawa yang bisa diselamatkan.
Kasus ini menjadi cambuk keras bagi semua pihak: pemerintah, tenaga medis, dan warga. Tidak cukup hanya membuat kebijakan—yang dibutuhkan adalah implementasi nyata, menyentuh langsung ke pintu-pintu keluarga miskin.
Kesimpulan: Saatnya Berbenah, Jangan Ada Lagi Rara yang Lain
Nestapa balita dari keluarga miskin ini bukan hanya cerita duka, tapi peringatan keras tentang pentingnya jaminan kesehatan universal yang inklusif dan mudah diakses. Kita harus pastikan tak ada lagi anak yang kehilangan nyawa hanya karena keluarganya tak mampu membayar biaya pengobatan. Akses kesehatan adalah hak dasar, bukan sekadar pilihan.