Di era media sosial, satu unggahan bisa menjadi viral dalam hitungan detik—dan bisa pula berbuntut panjang. Itulah yang terjadi pada seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) yang kini menjadi sorotan publik usai ditangkap karena mengunggah meme yang melibatkan dua tokoh penting Indonesia: Prabowo Subianto dan Joko Widodo.
Insiden ini memicu diskusi luas tentang batas antara kebebasan berekspresi dan pelanggaran hukum di ruang digital.
Kronologi Penangkapan: Meme yang Jadi Masalah
Penangkapan terjadi pada awal Mei 2025, setelah akun media sosial mahasiswi tersebut membagikan sebuah meme satiris yang menampilkan Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam konteks yang dinilai “menghina martabat negara”.
Polisi siber segera menindaklanjuti laporan dari kelompok masyarakat yang merasa konten tersebut melecehkan simbol negara. Dalam waktu 48 jam, mahasiswi berinisial RAS itu ditangkap di kediamannya di Bandung untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Reaksi Publik: Antara Simpati dan Kecaman
Penangkapan ini memicu reaksi beragam dari warganet dan publik secara luas. Sebagian menyayangkan tindakan aparat yang dinilai berlebihan, mengingat meme tersebut tergolong satire politik yang umum di negara demokrasi. Banyak mahasiswa dan aktivis hak digital menilai tindakan ini sebagai bentuk pembungkaman kritik.
Namun, sebagian lainnya mendukung langkah aparat. Mereka berpendapat bahwa kebebasan berekspresi tetap harus memiliki batas, terutama jika konten menyentuh unsur penghinaan atau penyebaran kebencian terhadap pejabat negara.
Tanggapan Resmi Pemerintah: Tegakkan Aturan Tanpa Pandang Bulu
Melalui juru bicara resmi, pemerintah menyatakan bahwa tindakan hukum dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Mereka menekankan bahwa siapa pun yang menyebarkan konten yang berpotensi menimbulkan keresahan publik harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
Meskipun begitu, pemerintah juga membuka ruang bagi evaluasi atas penerapan UU ITE agar tidak disalahgunakan untuk membungkam kritik konstruktif.
Dunia Akademik dan Aktivis Bersuara
Pihak kampus ITB belum mengeluarkan pernyataan resmi, namun sejumlah dosen dan mahasiswa menyatakan solidaritas terhadap RAS. Mereka menilai bahwa tindakan tersebut seharusnya diselesaikan melalui pendekatan edukatif, bukan kriminalisasi.
Organisasi seperti SAFEnet dan LBH Pers juga menyoroti kasus ini sebagai cerminan dari kondisi kebebasan digital di Indonesia yang masih rapuh.
Kesimpulan: Saatnya Refleksi tentang Kebebasan Berekspresi
Kasus “unggah meme Prabowo-Jokowi” ini membuka diskusi penting soal batasan dalam menyampaikan pendapat secara digital. Di satu sisi, menjaga kehormatan tokoh negara penting. Namun, di sisi lain, negara juga perlu memberi ruang bagi kritik dan ekspresi publik sebagai bagian dari demokrasi yang sehat.