www.society.co.id – Kebijakan ekonomi Amerika Serikat di bawah mantan Presiden Donald Trump kembali menjadi sorotan publik, termasuk dari tokoh nasional Indonesia, Jusuf Kalla (JK). Dalam sebuah pernyataan, JK menilai bahwa tarif impor yang diberlakukan Trump bukan sekadar langkah ekonomi, melainkan lebih banyak mengandung unsur politik.
Pernyataan tersebut memicu diskusi hangat baik di dalam negeri maupun di panggung internasional, karena kebijakan tarif tersebut sebelumnya telah memicu perang dagang dan ketegangan diplomatik dengan sejumlah negara.
JK: Tarif Trump Sarat Kepentingan Politik
Jusuf Kalla, yang dikenal sebagai tokoh yang aktif dalam isu-isu internasional dan perdamaian, menyatakan bahwa kebijakan tarif yang agresif dari Trump bertujuan lebih untuk menarik simpati politik domestik daripada menciptakan solusi ekonomi jangka panjang.
Menurut JK, tarif tersebut memang dimaksudkan untuk melindungi industri dalam negeri Amerika, tetapi pada kenyataannya langkah itu lebih menunjukkan upaya Trump dalam menggalang dukungan dari kalangan buruh dan industri lokal menjelang pemilihan umum.
“Tarif yang dikenakan pada berbagai produk dari Tiongkok, Eropa, bahkan negara-negara berkembang, seperti Indonesia, adalah bagian dari strategi politik Trump. Ini bukan hanya soal defisit dagang, tapi juga cara untuk menghidupkan nasionalisme ekonomi,” ujar JK dalam sebuah forum internasional.
Dampak Tarif Trump ke Negara Lain
Penerapan tarif tinggi terhadap produk dari berbagai negara membuat hubungan dagang Amerika dengan negara-negara mitra menjadi tegang. Banyak negara bereaksi keras terhadap kebijakan ini karena dinilai melanggar prinsip perdagangan bebas dan mengganggu stabilitas ekonomi global.
China, misalnya, membalas dengan memberlakukan tarif serupa pada produk AS, sehingga memicu perang dagang yang berlangsung selama beberapa tahun. Sementara itu, negara-negara Uni Eropa juga menyatakan keberatan atas tarif baja dan aluminium yang dikenakan oleh pemerintahan Trump.
Negara-negara berkembang seperti Indonesia pun turut terdampak, meskipun secara langsung tidak menjadi target utama kebijakan tersebut. Eksportir lokal merasakan penurunan daya saing di pasar AS karena ketidakpastian kebijakan perdagangan.
Perspektif Global dan Diplomasi Perdagangan
Menurut JK, kebijakan semacam ini justru memperkeruh kerja sama multilateral yang selama ini dibangun melalui organisasi seperti WTO (World Trade Organization). Alih-alih memperkuat diplomasi ekonomi, Trump justru lebih banyak menciptakan gesekan yang memperumit hubungan antarnegara.
Dalam kacamata diplomasi, tarif yang didasarkan pada kepentingan politik domestik tidak hanya berisiko memicu konflik dagang, tetapi juga dapat berdampak jangka panjang pada kepercayaan internasional terhadap komitmen Amerika di bidang perdagangan.
JK menegaskan pentingnya menjaga jalur komunikasi dan kerja sama ekonomi yang adil di tengah tantangan global saat ini. “Ekonomi seharusnya menjadi jembatan diplomasi, bukan alat untuk meningkatkan tensi politik,” tegasnya.
Pelajaran bagi Indonesia
Dari pengamatan terhadap kebijakan Trump, JK juga mengajak pemerintah Indonesia untuk lebih waspada dan adaptif terhadap dinamika politik ekonomi global. Ia menyarankan agar Indonesia memperkuat pasar dalam negeri, mencari pasar ekspor alternatif, serta meningkatkan produktivitas industri lokal agar lebih tahan terhadap guncangan global.
“Kita tidak bisa hanya bergantung pada negara besar. Penting untuk memiliki strategi ekonomi yang mandiri namun tetap terbuka terhadap kerja sama internasional,” ujarnya.
Kesimpulan
Pandangan Jusuf Kalla terhadap tarif impor ala Trump membuka mata banyak pihak mengenai bagaimana politik dan ekonomi seringkali berjalan beriringan, bahkan saling mempengaruhi dalam kebijakan tingkat global. Kebijakan ekonomi yang tampaknya netral, bisa saja menyimpan strategi politik terselubung.
Sebagai negara berkembang, Indonesia perlu terus memantau perkembangan global dan mengambil pelajaran dari kebijakan negara lain, agar tidak terjebak dalam dampak negatif kebijakan yang sarat muatan politik semata. Dialog dan kerja sama internasional tetap menjadi kunci untuk menjaga stabilitas ekonomi dunia di tengah dinamika politik yang terus berubah.