Dalam beberapa tahun terakhir, industri financial technology (fintech) berkembang pesat di Indonesia. Platform pinjaman digital menjamur dengan berbagai penawaran cepat dan mudah. Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul masalah baru: tingginya bunga pinjaman.
Bunga fintech yang bisa mencapai dua digit per bulan menimbulkan kekhawatiran. Alih-alih membantu pertumbuhan ekonomi, justru dikhawatirkan menjadi beban, khususnya bagi sektor produktif seperti UMKM. Tidak hanya itu, dugaan adanya praktik kartel bunga menambah panasnya isu ini di mata publik dan regulator.
Dugaan Kartel: Tantangan Bagi Persaingan Sehat
Dugaan kartel bunga di industri fintech menjadi sorotan tajam. Beberapa pihak menduga bahwa perusahaan-perusahaan fintech melakukan kesepakatan tak langsung dalam menentukan tarif bunga, sehingga menghambat persaingan sehat dan merugikan konsumen.
Meski belum ada bukti resmi yang kuat, sinyalemen ini cukup menggugah perhatian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Mereka tengah mengkaji pola penetapan bunga dan keterbukaan informasi dari para penyelenggara fintech lending.
Dilema Bunga Fintech: Cepat Tapi Mahal
Di satu sisi, fintech lending memang memberikan akses cepat ke pembiayaan, terutama untuk masyarakat unbanked atau underserved. Namun di sisi lain, tingginya suku bunga menjadi hambatan serius bagi pelaku usaha produktif.
Sektor produktif seperti pertanian, manufaktur kecil, dan perdagangan mikro tidak memiliki margin keuntungan yang besar. Oleh karena itu, ketika harus membayar bunga tinggi, keuntungan mereka bisa terkikis, bahkan berujung pada gagal bayar.
Transisi digital yang seharusnya membantu sektor ini tumbuh justru menciptakan ketergantungan baru pada pembiayaan jangka pendek berbiaya tinggi.
Tekanan Terhadap Penyaluran Kredit Produktif
Kondisi ini secara tidak langsung menekan penyaluran dana ke sektor produktif. Investor atau pemberi pinjaman lebih memilih sektor konsumtif yang dianggap lebih cepat menghasilkan dan minim risiko. Akibatnya, sektor produktif menjadi kurang menarik karena risiko gagal bayar dianggap lebih tinggi, terutama jika tidak disertai bunga tinggi sebagai kompensasi.
Dalam jangka panjang, ini bisa menciptakan ketidakseimbangan struktural di sistem pembiayaan nasional. Pertumbuhan ekonomi tidak hanya bergantung pada konsumsi, tapi juga pada produktivitas yang dihasilkan oleh sektor riil.
Langkah-Langkah yang Bisa Ditempuh
Untuk mengatasi dilema ini, dibutuhkan sinergi antara regulator dan pelaku industri. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:
- Menerapkan transparansi bunga pinjaman melalui dashboard publik.
- Mendorong fintech produktif yang khusus membiayai UMKM dengan bunga wajar.
- Memberikan insentif bagi penyelenggara yang menyalurkan dana ke sektor produktif.
Selain itu, perlu juga ada upaya dari sisi edukasi agar pelaku usaha memahami risiko dan manfaat pembiayaan dari fintech, serta tidak terjebak dalam lingkaran pinjaman konsumtif yang tidak berkelanjutan.
Kesimpulan: Reformasi Fintech Demi Keseimbangan Ekonomi
Dugaan kartel dan tingginya bunga fintech harus menjadi momentum untuk mereformasi industri ini secara menyeluruh. Jika dibiarkan tanpa regulasi yang tegas dan inovasi yang adil, fintech bisa berubah dari solusi menjadi sumber masalah baru.