Percepatan pembahasan RUU Penyesuaian Pidana oleh DPR menimbulkan berbagai kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap praktik penegakan hukum di Indonesia. Dengan cakupan perubahan yang luas, RUU ini memiliki potensi memengaruhi banyak aspek mulai dari standar pemidanaan hingga kewenangan aparat penegak hukum. Karena itu, setiap langkah percepatan harus dipertimbangkan dengan matang agar tidak menimbulkan persoalan baru yang justru memperburuk kualitas sistem peradilan pidana.
Salah satu implikasi yang dikhawatirkan muncul adalah ketidaksiapan aparat penegak hukum dalam menerapkan aturan baru. Ketika sebuah undang-undang disahkan secara cepat tanpa sosialisasi memadai, risiko salah tafsir meningkat. Polisi, jaksa, hingga hakim membutuhkan pedoman teknis yang jelas agar tidak menimbulkan ketidakadilan atau penyalahgunaan kewenangan. Dalam praktiknya, perubahan aturan pidana selalu membutuhkan waktu adaptasi yang tidak singkat.
Selain itu, percepatan RUU juga berpotensi menimbulkan tumpang tindih aturan jika harmonisasi tidak dilakukan secara menyeluruh. Hukum pidana di Indonesia tersebar di berbagai undang-undang sektoral, sehingga penyesuaian harus dilakukan dengan konsistensi tinggi. Tanpa pembahasan mendalam, bisa saja muncul pasal yang bertentangan dengan aturan lain, yang pada akhirnya menyulitkan penegak hukum dalam menerapkan kebijakan secara menyatu.
Dari sisi hak asasi manusia, beberapa kelompok masyarakat sipil menilai bahwa percepatan pembahasan berisiko mengabaikan perlindungan terhadap hak warga negara. Pasal-pasal tertentu mungkin memerlukan analisis mendalam mengenai potensi pelanggaran hak, terutama dalam hal kriminalisasi baru, mekanisme pemidanaan, atau batasan kewenangan aparat. Jika diskusi publik terbatas, peluang terlewatnya potensi pelanggaran menjadi semakin besar.
Namun demikian, terdapat pula implikasi positif yang diharapkan muncul dari percepatan RUU ini. Dengan penyesuaian aturan pidana, aparat penegak hukum dapat bekerja dengan pedoman yang lebih relevan terhadap perkembangan zaman. Kejahatan digital, kejahatan lintas negara, dan perubahan pola kriminalitas modern membutuhkan regulasi yang responsif. Percepatan dianggap sebagai upaya untuk menjawab kebutuhan tersebut dan menghindari kekosongan hukum yang berlarut-larut.
Meski memiliki potensi manfaat, kecepatan legislasi tidak boleh mengorbankan kualitas. Implikasi terhadap penegakan hukum sangat besar, sehingga DPR dan pemerintah dituntut untuk memastikan bahwa setiap pasal telah dikaji secara menyeluruh. Jika proses dilakukan dengan terbuka, melibatkan publik, dan memperhatikan masukan berbagai pihak, maka percepatan RUU dapat menghasilkan kebijakan yang bermanfaat. Sebaliknya, jika tergesa-gesa tanpa pertimbangan memadai, risiko persoalan implementasi dan ketidakadilan akan semakin besar.













